Selasa, 08 Maret 2011

“Sahabat sejatimu adalah orang yang berkata benar kepadamu, bukan yang selalu membenarkanmu.”




“Sahabat sejatimu adalah orang yang berkata benar kepadamu, bukan yang selalu membenarkanmu.”

Kata bijak di atas menyimpan pesan moral yang sangat mendalam, dan memberi pemahaman bahwa sahabat sejati begitu langka, terlebih pada zaman ini, yang telah mengalami pergeseran paradigma pemikiran jauh, termasuk arti sebuah persahabatan.

Persahabatan saat ini lebih banyak mengarah kepada materialisme. Gaya hidup konsumtif sudah menjadi sindrom dan virus yang membuat manusia menjadikan orang-orang kaya dan punya kekuasaan sebagai pilihan nomor wahid untuk menjadi teman bergaul dan sahabat.

Padahal, persahabatan dalam makna yang benar adalah sebuah jalinan yang melibatkan luapan kecintaan karena Allah Subhânahu wata‘âlâ dan untuk Allah Subhânahu wata‘âlâ, sehingga dapat memiliki implikasi positif, baik dalam kondisi senang atau susah, berhasil atau gagal.

Persahabatan yang dibangun di atas pondasi niat yang tulus karena Allah Subhânahu wata‘âlâ akan kekal. Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Subhânahu wata‘âlâ pada Hari Kiamat berseru, ‘Di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini akan Aku lindungi mereka dalam lindungan-Ku, pada hari yang tidak ada perlindungan, kecuali perlindungan-Ku.” (HR. Muslim).

Persahabatan yang benar akan menimbulkan rasa cinta dan sayang yang tulus, melahirkan kedamaian dan ketenangan, sehingga orang lain terasa nyaman di sampingnya. Sahabat sejati selalu jujur dan bicara benar apa adanya. Sahabat sejati tidak akan membungkus pukulan dengan ciuman, tidak akan berbohong demi kepentingan dan hasrat pribadinya.

Persahabatan sejati nan luhur ini ditunjukkan oleh baginda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan para sahabatnya. Sebagai teman, Rasul Shallallâhu ‘alaihi wasallam mampu menjadi seorang ayah bagi orang-orang yang butuh kasih sayang, menjadi pelindung bagi mereka yang tertindas, dan menjadi sahabat yang hangat dan penuh keakraban.

Sebegitu pentingnya persahabatan, sehingga banyak etika yang diajarkan oleh Rasul Shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam menjaga kemurnian arti persahabatan. Hal ini tidak lain karena sahabat memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan, baik dunia atau akhirat. Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa temannya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Makna Hadis ini adalah seseorang akan cenderung berpikir, berbicara, dan berperilaku seperti kebiasaan kawannya.

Selain itu, teman juga bisa menjadi cerminan terhadap orang lain. Terkadang untuk melihat baik dan tidaknya seseorang dengan cara melihat temannya; bila temannya baik, maka ia akan dianggap baik. Begitupun sebaliknya.

Dari sini dapat disimpulkan, bahwa betapa besar pengaruh baik dan buruknya berteman, karenanya sangatlah penting bersikap selektif dalam mencari teman.

Cara Mencari Teman

Imam al-Ghazali menyatakan bahwa, jika engkau hendak mencari teman dalam menuntut ilmu, baik ilmu akhirat maupun ilmu dunia, pertimbangkan lima hal:

Pertama,kepandaiannya. Tidak beruntung pencari ilmu yang berteman dengan orang bodoh, sebab orang bodoh hanya akan menyusahkannya dan membuat dirinya terbelakang.

Kedua, akhlaknya. Bersahabat dengan orang yang berakhlak tercela penuh risiko. Orang yang buruk akhlaknya tidak bisa mengendalikan diri ketika tersinggung atau merasa senang sehingga mencelakai temannya. Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Tidak ada yang membuat aku celaka selain aku berkawan dengan orang yang tidak aku segani”.

Ketiga, ketakwaannya. Tidak beruntung bersahabat dengan orang fasik yang suka berbuat maksiat dan dosa, sebab perbuatan fasik dapat menjerumuskan seseorang ke jurang kehinaan dan lembah maksiatan. Akibat berteman dengan orang fasik adalah durhaka kepada Allah Subhanahu wata‘âlâ. Karena itu Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam menuntun kita agar berteman dengan orang mukmin yang baik: “Perbanyaklah berkawan dengan orang mukmin yang baik, karena setiap orang mukmin memiliki syafaat pada hari kiamat.”

Keempat, kezuhudannya. Tidak baik bersahabat dengan orang yang rakus. Bersahabat dengan orang yang rakus membahayakan keselamatan jiwa. Dan, kecenderungan manusia adalah meniru apa yang dilakukan oleh teman dekatnya.

Kelima, kejujurannya. Orang yang tidak jujur suka berbohong kepada orang lain dan menipu dirinya sendiri. Jika berteman dengan pembohong, orang akan menganggapnya pembohong, sehingga orang akan menjauhi kita. Berteman dengan pembohong membuat kita terjerat dalam pembenaran sikap bohong. Padahal, bohong adalah dosa besar.”

Langkah lain yang tak kalah penting adalah mengetahui karakter orang-orang yang berbahaya apabila dijadikan teman, adalah seperti yang dikutip dari pesan-pesan Ali Zainal Abidin kepada Muhammad al-Baqir, “Janganlah sekali-sekali engkau berteman dengan lima golongan manusia, yaitu orang fasik, bakhil, pendusta, dungu, dan pemutus silaturrahim.”

Selain itu, ada hal yang harus dimiliki oleh seseorang dalam berteman, yaitu berakhlak baik yang dapat kita terjemahkan dalam beberapa sikap yang antara lain adalahmemiliki cinta yang dalam. Artinya seorang teman harus mempunyai rasa memiliki, sehingga dia akan memperlakukan temannya seperti dirinya sendiri, karena kadar kecintaan yang mendalam. “Jika bersahabat dengan seseorang, janganlah engkau melihat kadar kecintaannya kepadamu. Tetapi, lihatlah kadar kecintaanmu kepadanya”. (Ibnu Mas’ud)

Hal lain adalah ikhlas tolong menolong dalam Islam. Prinsip menolong teman bukan berdasar permintaan dan keinginan hawa nafsu teman. Tetapi prinsip menolong teman adalah keinginan untuk menunjukkan dan memberi kebaikan tanpa basa-basi serta apa adanya, meskipun bertentangan dengan keinginan teman. Adapun mengikuti kemauan teman yang keliru dengan alasan solidaritas, atau berbasa-basi dengan mereka atas nama persahabatan, supaya mereka tidak lari dan meninggalkan kita, maka yang demikian ini bukanlah tuntunan Islam.

Alhasil, marilah kita berteman dan menjaga arti pertemanan itu sebaik-baiknya, sebab sejarah besar terkadang muncul dan berawal dari persahabatan. Sejarah telah membuktikan bagaimana ulama mengislamkan nusantara tercinta dan menjadi tokoh yang dicintai dan dihormati serta menyatu dengan umatnya. Hal itu tidak lepas dari kepiawaian dalam berdakwah, berkomunikasi, dan bergaul dengan mengedepankan ahklakul karimah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar